06 September 2008

Raja Bisnis Laundry di Kota Gudeg

Kegigihan mengantarkan Fen Saparita menjadi penguasa bisnis laundry di Yogyakarta. Ia bahkan sukses mewaralabakan Melia Laundry miliknya ke berbagai kota di Jawa Tengah.

Perjalanan satu mil selalu dimulai dengan satu langkah. Fen Saparita memulai menapaki jagat bisnis dengan keberanian meninggalkan karier di posisi yang cukup enak dan penghasilan lumayan besar di pabrik Semen Gresik, Tuban, Jatim. Penentangan dari keluarga besar -- termasuk sang istri tercinta -- atas keputusannya mengembangkan usaha sendiri tak menyurutkan langkah kelahiran 1962 ini. Fen bahkan nekat melego rumahnya di bilangan Jatibening, Jakarta Timur seharga Rp 250 juta. Hasil penjualan rumah itu yang kemudian dijadikan modal mengibarkan usaha laundry di Yogya, kota kelahirannya.

Fen ternyata tak keliru dengan pilihannya. Bisnis laundry yang ditekuninya sewindu lalu sekarang telah merambah berbagai kota di Jateng. Kini, total ada 200-an jaringan laundry dalam genggamannya. Hebatnya, Fen tak perlu merogoh kocek untuk mengembangkan usahanya itu. Pasalnya, ia memperluas jaringan bisnisnya dengan sistem waralaba (franchise).

Setiap franchisee yang ingin memakai brand Melia Laundry (ML) paling tidak mesti menyiapkan investasi Rp 65-100 juta. Besaran investasi tergantung pada alat produksi yang disiapkan, termasuk lokasi kota pemohon franchisee. Untuk kota kecil, biasanya cukup investasi sekitar Rp 65 juta karena hanya memerlukan peralatan produksi berkapasitas sedang. Adapun untuk kota besar yang diestimasi pasarnya juga besar bisa mencapai Rp 100 juta, sebab harus menggunakan peralatan produksi berkapasitas besar pula. Untuk para franchisee ini, Fen mematok fee royalti 10% per bulan.

Fen akhirnya mampu mewujudkan mimpinya menjadi wirausahawan sukses. Ia menyadari, sukses bukanlah masalah keinginan, melainkan hasil kerja keras dan keberanian bersikap. Impian tak akan pernah terwujud kalau ia masih bertahan menjadi karyawan dan mengikuti nasihat keluarganya. Tantangan terberat ketika akan memulai usaha justru datang dari keluarga sendiri,kenang bapak dua anak ini. Alasan penentangan keluarganya saat itu karena Fen dinilai tidak cukup mumpuni dalam berbisnis.

Toh, Fen nekat. Bahkan, ketika meluncur ke Kota Gudeg pada 1996, ia sama sekali belum tahu mau menggelindingkan bisnis apa. Ketika itu yang ada dalam benak saya hanya keinginan memiliki usaha sendiri, ujar Fen, yang sepertinya terobsesi berpindah kuadran dari karyawan menjadi pengusaha, seperti yang disarankan Robert Kiyosaki.

Saat tiba di Yogya, baru terbersit untuk membangun bisnis pencucian pakaian alias laundry. Menurut kalkulasi saya, bisnis jasa cuci pakaian memiliki peluang besar karena belum ada pemainnya, tutur Fen. Saat itu, bisnis laundry di Kota Pelajar ini belum semarak sekarang. Bahkan, boleh dibilang Fen sebagai pelopor bisnis laundry di Yogya. Ketika memulai bisnisnya, Yogya masih bebas dari ratusan papan nama penjual jasa laundry. Sekarang, hampir di setiap gang -- terutama kawasan komunitas mahasiswa -- dijejali papan nama yang menawarkan bisnis cuci pakaian. Sejak dua tahun lalu, laundry memang menjadi bisnis primadona yang diincar banyak orang di Yogya. Tak pelak, persaingan bisnis ini cukup ketat. Buntutnya, perang harga menjadi strategi jualan mereka. Jasa laundry mahasiswa ini mematok harga hanya Rp 300 - 2.000/potong.

Namun, strategi banting harga tersebut tak menurunkan pamor ML. Sejak awal, Fen telah memosisikan jasanya untuk kelas menengah-atas. Dengan sasaran kelas itu, ia memilih membuka agen di kawasan perumahan elite dan beberapa pusat perbelanjaan. Menurut Fen, nama Melia diambil dari bahasa Jawa, milio, yang berarti mengalir. Supaya enak didengar saya ubah menjadi melia, ungkap Fen.

Langkah awalnya bukan tanpa sandungan. Setelah bulat memilih usaha jasa cuci pakaian, Fen malah kebingungan. Pasalnya, ia sama sekali tidak paham seluk-beluk bisnis ini. Ihwal teknik cuci baju pun sama sekali ia tak tahu. Manajemennya, bahkan cara kerja alatnya pun saya buta sama sekali, Fen mengakui. Untuk mencari tenaga kerja, ia lantas membuka iklan lowongan pekerjaan di koran lokal. Ditunggu sampai beberapa lama ternyata tak satu pun surat lamaran mampir ke tempatnya. Saat itu ia mengaku nyaris putus asa. Sampai suatu waktu datang pelamar dari Purworejo, Jateng, yang mengaku tertarik bergabung. Orang itu sendiri sudah memiliki pengalaman bekerja di jasa laundry. Dia satu-satunya orang yang datang melamar, katanya. Tak sekadar mendapat tenaga kerja, Fen mengaku mendapat pengetahuan cukup tentang bisnis laundry dari orang tadi.

Untuk menambah karyawan, terpaksa Fen membajak beberapa orang yang sudah punya pengalaman bekerja di laundry dari Jakarta. Dengan modal Rp 200 juta hasil melego rumahnya, Fen membeli peralatan kerja, seperti mesin cuci dan mesin uap. Ia memulai usahanya dengan membuka gerai di Jl. Simanjuntak, kawasan Kampus UGM dan Jl. Kaliurang. Namun, Dewi Fortuna tak segera menghampiri Fen. Tiga bulan pertama, ML sepi pengunjung. Ia bersama karyawannya hanya ongkang-ongkang kaki sebab tak ada orderan cucian yang masuk. Tak pelak, ia harus menomboki untuk biaya operasional dan gaji karyawan.

Dalam keadaan nelangsa, ide lantas menyeruak. Fen pun memutuskan menjaring konsumen kelas menengah-atas. Ia kemudian membuka gerai ML di Hero. Meski sewanya cukup tinggi, Fen nekat menyewa tempat 1 x 2 meter. Strategi ini ternyata menuai respons bagus. Order pencucian mulai berdatangan. Dari waktu ke waktu bahkan terus meningkat. Sukses di Hero memicu Fen membuka gerai di Mal Galeria.

Dari sini, ML terus berkembang. Fen kemudian melirik perumahan-perumahan elite untuk memperluas jaringan ML. Fen menggandeng mitra dengan sistem bagi hasil. Sekarang, sekitar 200 ML hadir di Yogya dan Semarang. Di Yogya, dengan sekitar 30 karyawan, setiap hari rata-rata menerima order pencucian 450 potong pakaian. Keberhasilan ML tak pelak diikuti pemain lain yang ingin ikut mencicipi gurihnya bisnis laundry. Tren gaya hidup laundry minded pun ikut memacu pertumbuhan bisnis ini di Yogya.

Banyaknya pemain yang mengerubuti bisnis ini tak membuat Fen cemas. Malah, perang harga, terutama laundry mahasiswa, juga tak menyurutkan semangatnya. Fen tetap konsisten mematok harga Rp 2.500-12.500/potong meski pemain lain mematok di harga Rp 300-2.000. Bisnis ML justru makin berkibar dengan sistem waralaba yang diterapkan Fen, beberapa bulan lalu.

Fen mengaku, ide mewaralabakan ML terbersit setelah ia menjadi murid Purdie Chandra di Enterpreneur University. Sebelumnya, Fen lebih banyak menjual peralatan laundry dengan sistem jual putus. Atas masukan dari Pak Purdie, saya bukan hanya menjual alat tapi juga nama perusahaan, tuturnya. Seperti telah dijelaskan di atas, untuk investasi, setiap franchisee dikenakan tarif Rp 65-100 juta. Modal sebesar itu disesuaikan dengan rata-rata omset laundry di Indonesia.

Investasi sebesar itu ternyata pernah membuat seorang calon mitra ML justru ragu-ragu. Seperti diceritakan Fen, saat berada dalam pameran usaha di Jakarta, ia didatangi seorang wanita yang mengaku berminat menjadi mitra usaha ML. Ketika disebut angka Rp 65-100 juta untuk investasi, calon mitranya terperangah dan malah ragu-ragu. Pasalnya, sebelumnya ia ditawari dari waralaba laundry asing yang investasinya di atas Rp 1 miliar. Menurut Fen, besaran investasi sejatinya tergantung kapasitas peralatan yang dibeli. Namun, lanjutnya, tidak perlu sampai mengeluarkan dana miliaran rupiah. Kecuali harus membeli peralatan serba besar dan canggih. Tapi untuk apa peralatan besar dan canggih, kalau dari hitungan bisnis malah tidak feasible, tukasnya. Selain investasi yang terbilang murah, selama masa waralaba yang berlangsung lima tahun, Fen akan mem-back up penuh urusan manajemen. Mereka hanya diberi kewajiban membayar fee royalti 10% per bulan.

Menurut Fen, sistem waralaba ini lebih menguntungkan bagi pebisnis yang ingin terjun di bisnis laundry. Membuka jasa laundry tidak segampang dan sesederhana yang dibayangkan orang, Fen berujar. Bukan sekadar mendapat order cucian lalu mencucinya dengan mesin cuci dan menyetrikanya lantas mengantongi uang jasa. Menurut dia, bisnis laundry membutuhkan banyak keterampilan dan memerlukan manajemen khusus. Pengetahuan tentang penanganan berbagai jenis bahan pakaian atau kain mutlak dimiliki. Masing-masing bahan kain memerlukan penanganan tersendiri. Ada yang cocok dicuci dengan air panas, ada yang bisa disetrika, ada yang khusus diuap. Kalau kami tidak menguasai pengetahuannya, bisa-bisa kami malah dikomplain konsumen karena merusak pakaian mereka, Fen menguraikan.

Dengan membeli waralaba ML menurut Fen, franchisee tidak perlu pusing-pusing mempelajari semua kerumitan bisnis laundry. Pasalnya, selain mendapat seperangkat peralatan kerja, mereka juga akan dipasok tenaga kerja dan manajemen. Seperti berpromosi, ia menjelaskan bisnis laundry sangat menarik sebagai investasi bagi mereka yang ingin mengembangkan usaha sendiri. Ini merupakan bisnis kepercayaan yang tak akan lapuk dimakan zaman, bisnis ini tidak mungkin mati, tuturnya. Apalagi, tren mencuci di laundry sudah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat perkotaan. Selama orang masih menggunakan produk tekstil, selama itu pula orang membutuhkan jasa laundry, kata Fen bersemangat.

Fen tampaknya bukan asal omong. Buktinya, waralaba ML mendapat respons bagus. Saat ini sudah ada beberapa orang yang antre ingin menjadi mitra bisnis ML. Yang sudah berjalan di Solo dan Tangerang masih dalam proses penjajakan. Fen sendiri membuka kesempatan kepada siapa saja. Hanya saja, untuk mencegah persaingan antarpemegang waralaba ML, ia akan menyurvei lebih dulu. Jika di lokasi itu sudah ada pemegang waralaba ML, ia akan menyarankan calon mitranya untuk membuka di lokasi lain. Kami tidak ingin terjadi persaingan yang tidak sehat antarpemegang waralaba Melia, ungkapnya.

Sigit Ismanto, salah satu pewaralaba ML, mengaku tertarik mengembangkan bisnis laundry karena melihat peluangnya yang bagus. Sigit yang mengembangkan ML di Solo menilai, prospek bisnis ini bagus sebab di Solo belum ada pemain laundry yang boleh dibilang profesional. Ada beberapa oknum yang membuka jasa ini asal-asalan. Ketika mendapat komplain dari pelanggan, mereka langsung menutup usahanya dan membuka usaha yang sama di tempat lain, paparnya. Sigit baru membangun jaringan ML di Palur, Solo, tiga bulan lalu dengan investasi Rp 65 juta. Saat ini ia tengah gencar membuka agen-agen di Goro dan Alfa. Ia mengaku optimistis bisnisnya akan bergulir dengan lancar. Indikatornya sudah jelas, saat ini pelanggan terus bertambah, kata bapak seorang anak yang juga membuka usaha bengkel motor ini.

Sigit mengaku membeli waralaba ML karena yakin dalam tempo tiga tahun modalnya akan balik. Sekarang, ia sudah mempunyai 8 agen dengan rata-rata melayani sekitar 50 pelanggan per hari.

Oleh : Henni T. Soelaeman [SWA]

Tidak ada komentar: